Minggu, 27 Juni 2010

Perkembangan dan Corak Pemikiran Teologi Asy'ari

A. PERKEMBANGAN ALIRAN KALAM AL-ASY’ARIYAH
Selain dukungan para murid dan tokoh pengikut, pesatnya perkembangan aliran kalam al Asy’ariyah tidak lepas dari dukungan umat, dukungan politik dalam negeri, dan juga politisi serta para ulama Asya’irah yang giat menyebarluaskan pemikiran kalamnya.
1. Dukungan Umat
Umat Islam kala itu, tampak antusias menerima aliran kalam al Asy’ariyah yang disebut aliran kalam Ahlussunnah Wal jamah, Karena ajarannya tetap mengikuti petunjuk naql ( al Qur’an dan al Hadits). Akal justru digunakan sebatas untuk memahami petunjuk naql, bukan memuja keberadaan akal atau sebaliknya.
Sehingga wajarlah bila aliran kalam yang dicetuskan alAsy’ari cepat berkembang dengan pesat. Mulai dari Andalusia (Spanyol) di Barat sampai di India di Timur, bahkan sampai ke Asia Tenggara termasuk Indonesia, menerima aliran tersebut dengan tangan terbuka.
Di Tanah Air kita, bahkan sampai kini masih sangat terasa mayoritas umat Islamnya, terasa lebih terwarnai oleh pemikiran kalam al Asy’ariyah,meskipun telah di susupi oleh nuansa sufistik oleh para penyebarnya. Sikap sebagian masyarakatnya yang cenderung pasrah (fatalism) dan banyak beredarnya kitab-kitab karya al Asya’irah (para ulama pengikut al Asy’ari), adalah bukti nyata yang relative tak terbantahkan.
Kitab-kitab dimaksud, antara lain : Ihya ‘Ulum al Din dan al Munqiz min al Dalal karya al Ghazali, Umm al Barahin karya al Sanusiyah atau disebut juga Risalah al Sanusiyah dan kitab-kitab sejenisnya.
Itulah bukti berkembangluasnya aliran kalam al Asy’ariyah yang benar-benar mendapat dukungan positif dari umat Islam mayoritas, tak terkecuali umat Islam di Indonesia.

2. Dukungan Politik dalam Negeri
Dukungan politik dalam negeri di mana al Asy’ari berdomisi,memang mengalami pasang surut. Namun secara umum dapat dikatakan sangat berperan dalam ikut serta mengembangkanajaran al Asy’ari.
Pada awal dicetuskannya aliran al Asy’ariyah, secara kebetulan tampuk pemerintahan yang dikendalikan oleh al Mutawakkil (pengganti al Makmun) secara resmi membatalkan aliran kalam Mu’tazilah sebagai aliran resmi Negara. Sebaliknya, dia member penghormatan kepada Ahmad bin Hanbal, maka secara tidak langsung, aliran al Asy’ariyah mendapat angin segar untuk tumbuh dan berkembang.
Namun pada masa pemerintahan dikuasai oleh Sultan Tugril dari Bani saljuk, dengan al Kunduri sebagai Perdana Menterinya yang beraliran Mu’tazilah, politik dalam negeri praktis dangat tidak mendukung perkembangan aliran al Asy’ariyah. sebaliknya, justru melekukan kekejaman terhadap para tokoh Asya’irah.
Atas usul al Kunduri, Sultan Tugril member perintah resmi untuk menangkap para pemuka aliran al Asy’ariyah. Diantara mereka yang berhasil ditangkap dan dipenjarakan, tercatat nama Abu Qasim al Qusyairi dan al Haramain. Dan tidak sedikit diantara Asya’irah melarikan diri ke Hijaz.
Setelah Sultan Tugil wafat dan digantikan oleh Alp Arselan, gelombang kekerasan reda seketika, apalagi dia mengangkat Perdana Menteri Nizam al Mulk sebagai pengganti al Kunduri. Perdana Menteri yang giat mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama “Nizamiyah” ini kebetulan beraliran al Asy’ariyah. Sehingga aliran al Asy’ariyah kembali berkembang dengan pesatnya. Di sekolah-sekolah Nizamiyah dan sekolah-sekolah yang lain, diperintahkan agar aliran kalam al Asy’ariyah dibelajarkan secara intensif.
3. Dukungan Ulama Asya’irah
Tak kalah besarnya peran penyebaran pemikiran kalam al Asy’ari dari mereka yang tergolong politisi Asya’irah. Melalui peran dan kiprah mereka, aliran al Asy’ariyah tidak hanya disebarluaskan ke berbagai kalangan masyarakat, tetapi juga dikembangkan menurut hasil pemikiran (ijtihad) mereka sendiri denga tetap bertumpu pada kerangka pemikiran al Asy’ari.
Menurut keterangan Ahmad Amin dalam kitabnya Zuhr al-Islam, para ulama Asya’irah yang gencar menyebarluaskan aliran kalam al Asy’ariyah itu dapat dikelompokkan dalam enam generasi, yaitu :
a. Generasi penerus Pertama, tercatat nama-nama besar seperti : Abu Ishaq al Isfirayani. Syekh Abu Muhammad al Tabari dan lain-lain.
b. Generasi Penerus Kedua, seperti : al Darani, al Baqillani, dan Abu Bakar al Faruk.
c. Generasi Ketiga, seperti : Abu Hasan al Baghdadi dan al Harawi.
d. Generasi Keempat, seperti : al Ka’ab al Baghdadi, Abu al Qasim al Qusyairi dan Imam al Haramain.
e. Generasi Kelima, antara lain : al Ghazali, Fahr al Islam al Syasyi, Abu Nasr al Qusyairi, Ibnu ‘Asakir, al Aam’ani dan Tahir al Salafi.
f. Generasi Keenam, tercatat nama-nama seperti : Fahr al Din al Razi, Saif al Din al Amidi, Syekh ‘Izza al Din ’Abd al Salam dan Ibnu Hajib al Maliki.
Memperhatikan kenyataan yang demikian itu, jelaslah bahwa aliran kalam al asy’ariyah benar-benar mendapat sambutan dari dunia Islam secara luas. Sehingga perkembangannya pun sangat cepat mendunia.
B. CORAK PEMIKIRAN KALAM AL ASY’ARI
Berdirinya aliran kalam, tentu memiliki corak pemikiran yang berbeda atau bahkan bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Dan disebut-sebutnya aliran kalam al Asy’ari ini sebagai aliran kalam Ahlussunnah Waljamaah, sudah barang tentu memiliki corak pemikiran yang tetap mengutamakan petunjuk al Qur’an dan al Sunnah yang menjadi sumber rujukan utama umat Islam, serta relative berbeda dengan pemikiran Islam kalam yang berkembang saat itu.
Adapun corak yang mewarnai pemikiran kalam al-Asyari itu, pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Menolak Aliran Kalam Mu’tazilah
Dicetuskannya aliran baru oleh al Asy’ari, tidak terlepas dari ketidakcocokan dan penolakannya terhadap aliran kalam Mu’tazilah. Dan inti penolakan itu tidak lain karena aliran kalam Mu’tazilah terlalu berlebihan memuja kemampuan akal (ekstrem rasional).
Terlalu berlebihannya Mu’tazilah dalam memuja kemampuan akal (rasio), sampai-sampai dalam banyak hal mengesampingkan keberadaan al Quran dan al Sunnah yang seharusnya menjadi sumber rujukan utama umat Islam dalam berbagai hal.

2. Menentang Paham Ekstrem Leteral
Paham ekstem leteral (tekstual) yang memahami nash-nash al Qur’an dan al Sunnah hanya berdasarkan apa yang tersurat (harfiyah) tanpa memperhatikan jiwa dari nashnya itu sendiri.
Menurut al Asy’ari, paham yang demikian itu jelas tidak dibenarkan. Karena petunjuk nash itu selain dipahami secara leteral, harus pula dipahami secara kontekstual, sehingga jiwa dari nash itu akan tampak betul kebenarannya untuk kemudian dijadikan sebagai petunjuk hidup bagi manusia.
3. Menjunjung Tinggi Kebenaran al Qur’an dan al Sunnah
Inilah corak utama pemikiran kalam al Asy’ari, sehingga disebut banyak kalangan sebagai aliran kalam Ahlussunnah Waljamaah (sunni), sebagaimana yang dipedomani oleh mayoritas umat Islam sejak zman Rasulullah SAW. Dan corak inipula yang menjadikan aliran kalam al-Asy’ari diterima oleh mayoritas umat Islam serta dapat berkembang secara cepat.
Sebagai aliran kalam, sudah barang tentu al Asy’ari puntidak menolak keberadaan akal dan logika (filsafat). Apalagi, betapapun dia adalah murid al Juba’I yang smapai puluhan tahun berkutat dengan akal. Namun olehnya, akal harus digunakan secara proporsional. Bukan untuk dipuja secara berlebihan, melainkan digunakan untuk memahami kebenaran al Qur’an dan al sunnah.
Sehubungan dengan itu, maka al Asy’ari menentang paham yang menyatakan sesat terhadap penggunaan akal dalam memahami spirit agama. Dia berargumen, bahwasanya para Sahabat Rasululullah SAW sendiri setelah wafatnya Rasulullah SAW banyak membicarakan persoalan baru yang belum pernah disinggung oleh Rasul SAW. Dan para sahabat itu tidak di cap sebagai golongan sesat (ahli bid’ah). Karenanya, dia tetap menentang keras terhadap golongan yang mengharamkan penggunaan Ilmu Kalamdalam memahami kebenaran agama.
C. PEMIKIRAN KALAM AL ASY’ARI
Sebagai seorang mu’assis (peletak dasar/pendiri) sebuah aliran Kalam, praktis al Asy’ari memiliki pemikiran kalam yang berbeda dengan pemikiran kalam yang pada waktu itu berkembang.
Adapun pemikiran kam al Asy’ari yang berbeda dengan pemikiran kalam lain (terutama dengan Mu’tazilah) itu antara lain pemikiran kalamnya tentang zat dan sifat Tuhan, kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia, kalam Tuhan, ru’yah kepada Tuhan dan tentang pelaku dosa besar.
1. Tentang Zat dan Sifat Tuhan
Menurut al Asy’ari, zat Tuhan tidak bias disamakan dengan zat (esensi) makhluk. Maka apabila dalam al Quran disebutkan kata-kata : wajh (muka), yad (tangan) dan ‘ain (mata) yang dinisbatkan kepada Tuhan, seperti tersebut dalam Firman Allah SWT yang berbunyi :

………………..tangan Tuhan di atas tangan mereka …………. ( QS al fath : 10 )


Dan tetap kekal wajah Tuhanmu ………… ( QS. Al Rahman : 27 )


Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami… ( QS. At Tur : 48 )
Kata-kata tersebut tidak boleh diberi arti lain. Dan karena menyangkut masalah keyakinan dan ketauhidan, kata-kata tesebut justru harus diyakini sebagaimana adanya, bukan ditanyakan bagaimananya.
Pemikiran al Asy’ari yang demikian itu sejalan dengan pemikiran Imam Malik bin Anas ketika ditanya tentang hal serupa, dia menjawab :



“ Arti kata Istiwa (bertahta) adalah hal yang dimaklumi adanya, tetapi bagaimananya adalah rahasia Tuhan. Dan mengimani adanya dalah wajib, sedangkan menanyakan bagaimananya adalah bid’ah” . ( al-Milal wa al-Nihal : 93 ).
Dan ternyata, pendapat yang demikian itu mendapat dukungan dari para ulama Salaf (pendahulu) seperti : Imam Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-Sauri, al Isfahani dll.
Adapun tentang “Sifat Tuhan, al Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat. Sifat-sifat itu berbeda dengan Zat, tetapi juga tidak terpisahkan dari Zat-Nya. Dan sifat-sifat Tuhan tidakserupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
Al-Syahrastani mengungkapkan pemikiran kalam al-asy’ari itu sebagai berikut :
“ Tuhan Yang Maha Luhur Mengetahui dengan sifat Ilmu, Kuasa dengan sifat kuas, Hidup dengan sifat hidup, Berkehendak dengan sifat kehendak, Berucap dengan sifat ucapan, Mendengar dengan sifat pendengaran, Melihat dengan sifat penglihatan; namun kekekalan sifat-Nya berbeda dengan sifat-sifat makhkuk. Al-Asy’ari berpendapat: sifat-sifat ini bersifat azaliyah dan berdiri pada Zat-Nya yang Maha Luhur; tapi tidak bias dikatakan: Sifat adalah zat atau bukan selain zat; sifat bukan zat dan bukan pula selain zat “. ( al-Milal wa al-Nihal: 95).

2. Tentang Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan manusia
Menurut al Asy’ari, Kekuasaan Tuhan adalah mutlak. Dia mutlak berkehendak dan berbuat, maka tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada manusia dengan kekuatannya sendiri, melainkan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya.
Dengan demikian, maka perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh manusia itu sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Sedangkan bersamaan dengan wujud perbuatan itu,manusia memiliki andil yang disebut kasb (usaha).
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang hal ini tampak lebih dekat dengan penikiran kalam Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak kuasa mewujudkan perbuatannya sendiri. Apa yang manusia perbuat hanyalah semata-mata mengikuti irama perbuatan Tuhan. Manusia hanya laksana bulu yang bergerak sesuai hembusan angin, atau laksana wayang yang dimainkan oleh sang dalang. Nuansa perbedaanya, terletak pada adanya kasb. Jika al-Asy’ari menilai dalam perbuatan manusia itu, manusia memiliki andil berupa kasb, sedangkan jabariyah tidak demikian.


3. Tentang Ru’yah kepada Tuhan
Pemikiran kalam al-Asy’ari tentang ru’yah kepada Tuhan (melihat Tuhan di akherat) adalah hal yang mungkin terjadi. Karena Tuhan sendiri berfirman ;


“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat “ ( QS. Al Qiyamah: 22-23 )

Argumen logika yang dikemukakan ialah bahwa Tuhan itu ada, maka melihat-Nya pada hari kiamat dengan mata kepada adalah hal yang mungkin. Karena sesuatu yang tidak bias dilihat dengan mata kepala, itu tidak bias diakui adanya, sama seperti sesuatu yang tidak ada. Padahal Tuhan pasti ada.
Pendapat al Asy’ari ini menolak pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Tuhan tidak bias dilihat di akherat, Karena Tuhan berfirman :


Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. ( QS. Al An’am:103 )
Alasan ayat ini, menurut al asy’ari tidaklah tepat. Karena ayat ini bersifat umum dan tidak mengkhususkan waktu, di dunia ataukah di akherat. Dan yang yang dimaksud adalah mata kepala manusia tidak dapat menjangkau kelembutan sifat Tuhan, kecuali dengan hati. Bukan berkenaan dengan nikmat yang Tuhan berikan di akherat.
Selain bertentangan dengan Mu’tazilah, al Asy’ari juga menolak golongan Musyabbihah dan Mujassimah yang menyatakan bahwa di akherat kelak Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala dalam arah dan cara tertentu.karena jika demikian, berarti menyerupakan Tuhan dengan makhluk dan sekaligus menjisimkan-Nya, Tuhan mungkin bias dilihat di akherat, tetapi tentang bagaimananya adalah rahasia-Nya.
4. Tentang Pelaku Dosa Besar
Tentang pelaku dosa besar, pemikiran kalam al-Asuy’ari terlihat jelas penolakannya terhadap pemikiran kalam Mu’tazilah yang menyatakan bahwa seorang mukmin yang berdosa besar dan mati sebelum bertobat nasuha, ia kekal di neraka.
Menurut al-Asy’ari, pendapat Mu’tazilah yang demikian itu jelas-jelas bertentangan dengan al-Sunnah serta hak pengampunan Tuhan. Dalam keterangan beberapa al Sunnah, dinyatakan bahwa kalaupun berdosa besar, selama dihatinya masih ada iman, seseorang tidak kekal di akherat. Dan dalam keterangan beberapa ayat al Qur’an, ditegaskan bahwa hanya orang-orang musyrik dan kafirlah yang kekal di neraka.
Sementara itu, Tuhan adalah berkuasa dan berkehendak mutlak. Sehingga menjadi hak mutlak-Nya pula untuk mengampuni atau tidaknya dosa para hamba-Nya yang beriman. Sehubungan dengan itu, maka yang pasti, menurut al Asy’ari , pelaku dosa besar yang beriman tidaklah kekal di neraka. Yang kekekal di neraka adalah orang yang musyrik dan orang kafir. Dan berkaitan dengan hak pengampunan Tuhan, maka terserah Dia, apakah dosa besarnya itu diampuni langsung masuk syurga; ataukah disiksa terlebih dahulu di neraka, kemudian diampuni dan dimasukkan ke syurga;hal ini mutlak urusan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar